NENEK YANG MALANG
Nenek yang Malang
By: Nofa Al-Badr
Panggil saja uwaik sian, itu nama yang
melekat pada dirinya semenjak nenek ini beranak delapan. Anak-anaknya memang
sudah besar dan sudah berkeluarga semuanya. Diantara kedelapan anaknya hanya
dua orang saja anaknya yang tidak pegawai. Anaknya yang pertama yaitu putra
sulungnya hanya bekerja sebagai pekebun sawit.
Istri yang dinikahinya berasal dari keluarga yang mampu dan punya tanah
yang luas. Jadi tidak sulit dalam segi ekonominya. Hasil kebun itu diambil
untuk kehidupan keluarganya sehari-harinya. Walaupun bukan seorang pegawai
seperti adik-adiknya bukan berarti dia bodoh, tapi hanya waktu saja yang tidak
memungkinkan untuk bisa melanjutkan pendidikan karena orang tuanya hanya
seorang petani. Ketika dia ingin melanjutkan pendidikannya terhalang oleh adik-adiknya
yang masih kecil.
Anak yang ke-dua sampai anak yang ke-tujuh
semua sukses dalam pandangan orang kampung. Sebab orang kampung hanya memandang
sukses seseorang itu dari PNS. Keenam anaknya yang pegawai itu disekolahkan
dengan menjual atau ada yang digadaikan banyak tanah dan sawah. Sehingga
anaknya ada yang dokter, perawat, 3 orang guru dan polisi. Itu semua tidak
lepas dari kerasnya sang nenek bekerja sewaktu mereka masih sekolah. Sudah
gelap jalan pulang, baru sang nenek ini dan suaminya berangkat pulang ke rumah.
Tak peduli lelah yang mereka rasakan, tapi sedalam itulah cinta dan harapan
besar untuk kesuksesan anak-anaknya.
Putri bungsunya selalu menemani
sang nenek di rumah. Memang dia bukan seorang pegawai, walaupun sama mengecap
pendidikan tinggi seperti kakak-kakaknya, mungkin takdir belum mengabulkan
doa-doanya. hatinya tulus bahwa menjaga dan merawat ibunya adalah kewajibannya
untuk berbakti kepada orang tuanya. Lagian dia baru saja menamatkan pendidikannya
dan jadi guru di salah satu sekolah di kampungnya itu. Dia lebih memilih
mengajar di dekat rumahnya dengan alasan bisa menemani orang tuanya diumurnya
yang senja. Kakak-kakaknya semua dinas di luar kota menjadi sebabdia memilih di
rumah. putra yang sulung sudah berkeluarga, tinggalnya di rumah istrinya pun
juga jauh dari kampungnya. Tidak ada anak nenek yang dirumah selain dari putri
bungsunnya yang selalu menemaninya sejak suaminya sudah meninggal tiga tahun
yang lalu setelah kelulusan sekolah putrinya itu.
Diusia nenek yang mulai senja, maka anak-anak
nenek yang sukses tidak lagi membiarkan ibunya masih bekerja di sawah. Setiap
bulannya akan ada pengiriman biaya nenek di rumah. Usia putri bungsunya sudah
cukup dewasa hingga dipinang oleh pujangga kampung sebelah. Tidak seberapa lama
setelah pernikahannya, mereka dikaruniai seorang putri. Betapa senangnya sang
nenek ketika rumahnya sudah lama sepi, sekarang sudah mulai ramai kembali.
Dengan ditemani cucu yang selalu memecahkan suasana setiap paginya dirumah itu.
Walaupun suara tangis cucunya itu sangat berisik sekali, sama sekali tidak
menganggu kenyamanan sang nenek. Malahan sang nenek lebih banyak menghabiskan
waktu bersama cucunya dari pada ibunya sendiri yang sibuk dengan pekerjaannya
sebagai seorang guru.
Usia tak ada yang tau dan ajal pun tak
seorang pun dapat menebaknya. Putri bungsu nenek rupanya meninggalkan segala
kenangan manis di rumah itu. Ketika umur
cucunya masih tiga bulan dalam buaian menjadi anak yatim. Ditinggal ibunya
ketika masih belia sekali. Di Minang ketika terjadi perceraian maka anak
tinggal bersama ibunya.
Setelah kepergian putri bungsunya, maka
menantunya pergi dari rumah itu, sebab tidak ada lagi yang akan di urus setelah
cerai mati dengan Almarhumah istrinya. Sang nenek otomatis yang menjadi hak
asuh utama terhadap cucunya itu. Sedikitpun nenek tidak merasa keberatan
terhadap hal itu walaupun menantunya tanpa sedikitpun membantunya. Ayahnya
bertingkah seperti bukan anaknya saja, sehingga setelah pergi dari rumah itu,
Ayah gadis kecil itu merantau jauh tiada berkabar lagi. Saat usia gadis itu
sudah sepuluh tahun, bahkan dia tidak ingin kenal dengan Ayahnya setelah
mendengar bagaimana kenyataan sebenarnya dari perkataan neneknya.
Kebutuhan gadis itu semakin besar semakin
tinggi. Apalagi biaya yang dikirimi anak-anaknya hanya sedikit. Anak-anaknya
hanya memikirkan ibunya saja tanpa memikirkan putri dari adiknya itu. Yang
sudah seperti anak yatim piyatu tanpa Ayahnya sekalian. Usia nenek sudah masuk
78 tahun, tapi tubuhnya masih bugar karena dari kecil terbiasa mengeluarkan
keringat.
Cucunya kesayangannya itu sudah masuk sekolah
SMP. Gadis itu tumbuh dengan cantik dan manja, sehingga apapun permintaannya
selalu dipenuhi oleh neneknya. Tapi keuangan sedang krisis, sehingga sang nenek
memutuskan untuk bekerja keras lagi di sawah. Walapun tidak semuanya dilakukan
seperti mencangkul sawah itu, tapi bagian menanam semua benih dilakukannya
sendiri pada sebidang sawah yang cukup luas. Diselingi bertani di sawah, Nenek
juga bertenak seekor sapi tetangga yang dipeliharanya. Setelah lelah di sawah
sorenya nenek juga menyabit rumput untuk makanan sapinya.
Rumput-rumput itu tidak begitu banyak. Namun
di usianya sudah tua renta tapi masih mau bekerja keras memikul rumput pulang
ke rumah dengan perjalanan cukup jauh sekitar 1,5 Kilometer. Sesampai di rumah
harus memasak pula karena gadis yang dibesarkannya itu terlalu manja dan tidak
bisa bekerja apapun. Itulah yang membuat anak-anak Nenek semakin marah terhadap
gadis itu yang tidak tau untung.
Nenek sudah merasai dengan beban hidup yang
di jalani setiap harinya. Tapi semangatnya tetap kokoh membesarkan anak yatim
itu. Tidak kenal usia tidak kenal hujan petir. Tetapi nenek selalu melanjutkan
kerjanya walaupun pesimis mata orang kampung memandangnya. Sebenarnya tidak
selayaknya di usianya harus melakukan hal itu, tapi nenek tetap bersyukur masih
mampu mengerjakan aktivitas demikian.
Komentar
Posting Komentar